Senin, 28 September 2009

Satu Jam Untuk Kebahagiaan Dunia Akhirat

Satu Jam Untuk Kebahagiaan Dunia Akhirat
Manusia selalu berada di antara hidayah Allah dan tipu daya syaithan. Kelengahan sedikit saja, syaithan akan bisa menjermusukan seseorang ke dalam lembah yang akan menyia-nyiakan bahkan merusak hidup seseorang. Berikut ini adalah 7 amal penting yang akan menjamin seseorang terhindar dari kondisi negatif itu. Dengan melakukan 7 program ini, seseorang akan diampuni dosanya, dilindungi dari fitnah kubur, dibangunkan rumah di surga, dikabulkan do�anya, dilindungi dari kefakiran, dicukupi kebutuhannya, dibebaskan dari perasaan gelisah. Uniknya lagi, semua hal itu dapat diperoleh hanya dengan membutuhkan waktu kurang lebih 60 menit atau 1 jam saja.

1.
Melakukan 12 rakaat sunnah rawatib. Yakni, 2 rakaat sebelum subuh, 4 rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat bada zuhur, 2 rakaat setelah maghrib, dan 2 rakaat setelah isya.
Manfaat yang diharapkan: Allah akan membangunkan sebuah rumah di surga bagi orang yang senantiasa melakukannya.
Dalil : Rasulullah saw bersabda, �Barangsiapa yang solat dalam satu hari sebanyak 12 rakaat, sunnah, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.� (HR Muslim)
2.
Sholat dua rakaat tahajjud. Faidah yang diharapkan: Dikabulkannya do�a, diampunkannya dosa, dan dicukupi Allah kebutuhannya. Dalil: Sabda Rasulullah saw, �Allah sw turun setiap malam ke langit dunia, di saat sepertiga malam terakhir dan mengatakan, �Siapa yang berdo�a kepadaku, pasti aku kabulkan. Siapa yang meminta padaku,pasti aku berikan, dan siapa yang memohon ampun padaku, pasti aku ampuni. (HR. Bukhari)
3.
Melakukan sholat duha 2 raka�at, 4 rakaat atau 8 rakaat. Manfaat yang diharapkan: Bernilai shadaqah dari seluruh persendian tulang. Dalil: Rasulullah saw bersabda, �Setiap persendian kalian adalah sadakah, setiap tasbih adalah sadakah, setiap tahmid adalah sadakah, setiap tahlil adalah adakah, setiap takbir adalah sadakah, setiap anjuran pada kebaikan adalah sadakah, setiap larangan dari yang mungkar adalah sadakah, dan semuanya akan mendapat ganjaran yang sama dengan melakukan shalat dua rakaat dari shalat duha.
4.
Membaca surat Al Mulk. Manfaat yang diharapkan: Diselamatkan dari adzab kubur. Dalil : Rasulullah saw bersabda, �Sesungguhnya ada salah satu surat dri Al Qur`an yang terdiri dari 30 ayat. Ia akan memberi syafaat pada seseorang dengan pengampunan dosa. Yaitu surat �tabarakallazi biyadihil mulk.� (HR Turmudzi dan Ahmad. Turmudzi mengatakan, ini adalah hadits hasan)
5.
Mengatakan : Laailaaha illallah wah dahu laa syarikalah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa hua ala kulli syai�in qadir dalam satu hari seratus kali. Manfaat yang diharapkan: Terpelihara dari gangguan syaitan selama satu hari, dihapuskan 100 kesalahan dan memperoleh 100 kebaikan.
Dalil : Rasulullah saw bersabda, �Barangsiapa yang mengatakan �Laa ilaaha illallah wah dahuu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ala kulli syai�in qadiir�, maka ia akan mendapat pahala seperti membebaskan 10 budak, ditulis baginya 100 kebaikan, dihapuskan 100 kesalahannya, dan ia akan terpelihara dari syaitan pada hari itu sampai sore, dan tidak ada seorangpun yang lebih baik dari apa yang ia peroleh dari hari itu, kecuali ada orang yang beramal lebih dari itu.�
6.
Shalawat atas Nabi Muhammad saw sebanyak 100 kali.
Faidah yang diharapkan: Bebas dari bakhil dan mendapat balasan shalawat dari Allah swt. Dalil: Rasulullah saw bersabda, �Barangsiapa yang bershalawat atas diri saya maka Allah akan mendo�akannya sebanyak sepuluh kali.� (HR. Muslim)

Hadits Rasulullah saw: Orang yang bakhil adalah orang yang bila namaku disebut di hadapannya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku. (HR Turmudzi)
7.
Mengatakan Subhanallah wa bihamdihi, subhanallahil aziim.
Faidah yang diharapkan: Ditanamkan di surga untuk yang melakukannya 100 batang pohon. Dalil: Rasulullah saw bersabda, �Barangsiapa yang melazimkan istighfar, maka Allah akan memberikan padanya jalankeluar di setiap kesempitan, penyelesaian dari setiap kegundahan, dan diberikan rizki dari sesuatu yang tidak diduga-duga. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim)

Selain tujuh amalan di atas, tentu saja kita harus mengerti bahwa iman dalam Islam bukanlah sekedar sholat,dzikir dan bacaan Al Quran, tapi mencakup perbuatan dan prilaku kita dalam berhubungan sesama manusia. Rasulullah menyebutkan, �Senyum anda kepada saudara anda adalah shadakah, danperintah kepada yang ma�ruf serta larangan dari yang mungkar itu shadakah, petunjukmu pada seorang asing yang tersesat itu sedekah, engkau menuntun orang yang sulit melihat itu shadakah, menyingkirkan batu dan duri dari jalan itu adalah sadakah, dan engkau membantu mengambilkan air untuk sahdaramu itu adalah sedekah.� Hadits riwayat Turmudzi ini menunjukkan bahwa kebaikan seorang muslim, selain ditunjang oleh kebaikan bathinnya juga harus diimplementasikan dalam kebaikannya dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya

Jangan Sakiti Siapapun

Kami terpukau dengan apa yang Grandsyaikh atau Mawlana Syaikh pernah katakan bahwa satu kata atau satu halaman yang mereka katakan dapat kau tuliskan sebanyak ribuan dan ribuan halaman dari apa yang mereka katakan pada satu halaman.

Allah tidak menciptakan suatu makhluk untuk menyakiti manusia. Menyakiti makhluk lain tidaklah Allah sukai.

Apa yang dibukakan kepada awliyaullah adalah samudera dari satu kata atau satu kalimat Burdah : kau bukakan cahaya-cahaya. Itu memukau pikiran.

Spiritualititas adalah dengan mencicipi. Kecintaan kepada sang Nabi (saw) lewat mencicipi. Seperti aliran listrik pada lampu-lampu dan kau dapat melihatnya, namun saat menyentuhnya kau dapat merasakan seberapa besar energi yang ada sehingga akan mengagetkanmu. Loncatan energi itu akan membuatmu koma selama beberapa saat atau mungkin membunuhmu.

Awliyaullah melalui kesungguhan dan keshalehan mereka, kita bicara banyak mengenai kesungguhan dan keshalehan, tetapi apakah kita bersungguh-sungguh atau shaleh? Tidak.
Kesungguhan dan keshalehan Syaikh Yasser bukan dengan lidah, kesungguhan atau keshalehan adalah dengan emosi yang dengannya seluruh tubuhmu akan berguncang meminta cinta kepada seorang yang dicintai. Seperti seseorang yang mencintai orang lain, dia selalu memikirkan tentang kekasihnya.

Jadi, sang Nabi (saw) selalu berada dalam Mi'raj, kenaikan, kepada sang Kekasih.
Kepada Allah swt. Cinta beliau tidak pernah berhenti. Kini, sebagai contoh: ketika manusia mencintai seseorang dan mereka tidak bisa menggapai orang tersebut maka mereka mempunyai emosi itu, cinta, dan selalu, selalu, selalu memikirkannya namun saat mereka bertemu maka emosi itu berkurang.

Namun dalam spiritualitas emosi itu meningkat. Ketika bersama, ketika mereka mendekat seperti semakin mendekatnya awliyaullah ke hadirat sang Nabi (saw), cinta mereka meningkat. Saat sang Nabi (saw) melakukan Mi'raj semakin beliau mendekat dengan sang Kekasih, maka cinta beliau semakin naik tidak pernah berkurang. Banyak orang bicara tentang cinta dengan gampangnya, cinta dalam makna spiritualitas begitu mudahnya. [Seperti jika] mengunyah permen/gula-gula, sesuatu yang sederhana.
Namun dalam kenyataan spiritual tidaklah semudah itu. Kau harus terus memakan gula-gula [spiritual], jangan berhenti.

Ketika kau makan sesendok madu, apa yang terjadi? Kau menyukainya. Kau ambil lagi, dan rasanya enak, lalu lagi dan lagi. Lalu apa yang terjadi? Akhirnya kau kenyang. Spiritualitas bukanlah seperti itu. Spiritualitas adalah kau tetap makan madu. Namun dalam spiritualitas, mereka mengangkatmu ke tingkat yang lebih tinggi dimana disana ada permen jenis lain yang tidak serupa dengan permen pertama dan lalu permen jenis lain dan lain dan kau pun naik makin tinggi dan tinggi.

Jadi cinta kepada sang Nabi (saw) adalah jenis spiritualitas yang selalu naik (Mi'raj), ini seperti listrik - kau dapat merasakannya. Ini bukan yang kau cari, kau mencari cahaya bukan hanya mencicipi manisnya namun kau akan merasakan cinta itu dan energi itu datang dari Sayyidina Muhammad (saw). Saat naik dalam tingkat-tingkat "mencicipi dan manis", kau akan merasakan semakin meningkatnya cinta yang kau rasakan, cinta kepada sang Nabi (saw). Awliyaullah ada dalam kenaikan itu. Itu yang mereka rasakan. Mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka. Itulah mengapa mereka tidak duduk bersama orang-orang karena mereka tidak bisa. Mereka tidak bisa duduk bersama orang-orang karena hati mereka bersama Allah, hati mereka bersama sang Nabi (saw); karena orang-orang akan mengalihkan keberadaannya. Lalu mereka akan kehilangan dimana mereka berada, pada posisi itu.

Hanya mukamaliin atau mukamaluun, al-Kummal, hanya bagi mereka yang sudah mencapai kesempurnaan; mereka mewarisinya dari sang Nabi (saw) [dalam hadits itu] lii sa`atun ma al-khaliq was lii sa`atun ma al-khalq - Aku memiliki satu wajah, satu sisi [atau satu jam] bersama Tuhan-ku dan satu sisi [atau satu jam] bersama manusia.
Jadi beliau ada pada 2 sisi ini, satu di Hadirat Ilahiah, satunya bicara dengan manusia, dari sinilah mereka mewarisinya.

Oleh karenanya manusia, … sebelum jenis ajaran ini, bagaimanakah mereka saat ini mengajari anak-anak menghafal Qur'an sejak masa kanak-kanak? Masihkah? Dan kini di Amerika, mereka berkata kepadamu "Bawalah anak-anak dan kami akan mengajari mereka menghafal Qur'an." Sebelumnya [dimasa lalu], sebelum menghafal Qur'an, mereka biasa menghafal segala jenis puisi tentang kecintaan kepada sang Nabi (saw). Kemudian saat mereka berusia 12 tahun, mulailah diajarkan tentang spiritualitas, tasawwuf. Kini hal itu tidak terlihat lagi.
Oleh karenanya kini mereka lebih bijaksana dalam masalah dunya; mereka lebih sekuler dalam pemahaman, jadi saat kau melihat apa yang diajarkan kepada anak-anak oleh orang tua mereka, saat kau melihat apa yang diajarkan oleh para guru, mereka pergi ke sekolah dan ke masjid yang mana didalamnya tidak ada hal lain yang dipikirkan kecuali politik. Aspek ini tidaklah ada. Itulah kenapa mereka keluar di Wilayah Teluk dan berkata, "Tidak ada lagi
awliya. Mereka sudah musnah."

Awliya ada disana namun kau begitu butanya sehingga tidak bisa melihat.

Wa man kaana fii haadzihii dunya a'maa fa huwa fil-aakhirati a'maa wa adhallu sabiilaa.

Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). [Al Israa' (17):72]

Awliyaullah dimasa lalu dan awliya masa kini mempunyai gaya berbeda.
Awliyaullah tahu bahwa Allah tidak menciptakan apapun untuk menyakiti para hamba-Nya. Dengan menghindari dari menyakiti hamba Allah akan menaikkanmu

Dan Grandsyaikh berkata bahwa Allah berfirman, "Aku mengumumkan perang kepada siapapun yang memusuhi para hamba-Ku." Inn Allah la yarda li `ibadihi adh-dhulm - Allah tidak menerima penganiayaan kepada para hamba-Nya.

Saat kini kita menganiaya diri kita sendiri. Ketika Allah berfirman jangan menganiaya, bagaimana cara kita menganiiaya diri kita sendiri? Dengan tidak shalat. Dengan tidak menggunakan apa yang telah Allah berikan kepada kira. Orang-orang sangat sulit melakukan shalat. Mereka lupa membaca Qur'an. Setidaknya bacalah satu halaman Qur'an atau satu juz. Mereka lupa membaca surat ini atau surat itu. Apakah ini? Kehidupanmu seperti seekor binatang. Kini orang-orang hanya memikirkan kehidupan materi, kehidupan binatang. Adakah yang lainnya? Tidak ada. Mereka tidak lagi tertarik kepada kehidupan beragama.

Perhatikan apa yang beliau jelaskan dalam puisinya, Muhammad al-Busayri dalam puisinya, meletakkan... al-Burda.
Beliau menuliskan - nabiyuna al-aamiru an-naahi - Nabi kita adalah seorang pemimpin, aamir, yang memberikan perintah, dan nahi, apa yang dilarang."
Fala ahadun abbara fee qawlin "lam" wa la "na`m" - tidak ada yang lebih baik dari beliau yang berkata 'tidak' atau yang berkata 'ya'.
Hanya beliaulah ketika mengatakan 'tidak' adalah berarti 'tidak' dan ketika berkata 'ya' berarti 'ya'.

Itu artinya ketika beliau berjanji bahwa hal ini 'ya', dan saat beliau mengucap 'tidak' tetaplah bermakna 'tidak'.
Beliau menuliskan - "Nabiyuna al-aamirun-naahi - Nabi (saw) kita adalah yang memberi perintah dan larangan." Itu artinya kita berada dibawah batas-batas perintah dan larangan. Apa yang mereka perintahkan harus kita turuti dan apa yang mereka larang harus dihentikan.
Sangat sederhana, Grandsyaikh pernah berkata bahwa Allah, "Allah mengumumkan perang kepada siapapun yang memusuhi para hamba-Ku." Dan beliau menjelaskan "Allah tidak suka siapapun menyakiti para hamba-Nya. Saat kau menyakiti para hamba-Nya, Dia mengumumkan perang kepadamu."

Berapa banyak dari kita yang menyakiti istri dan berapa banyak istri yang menyakiti suaminya? Kedua belah pihak. Dalam satu kata, hal tersebut bisa terjadi. Kau mungkin berkata satu kata yang tidak enak.
Mengapa mereka mempunyai diplomat ditiap negara, duta-duta besar? Mereka diajarkan berdiplomasi dengan menggunakan kata-kata yang sangat diplomasi agar tidak membuat semua orang naik darah.

Tasawwuf mengajari kita hal tersebut. Jangan menggunakan kata-kata yang kasar. Dalam tasawwuf, mereka biasa mengajarkan anak berusia 12 tahun semua kata-kata halus, 200-300 buah kata, agar tidak membuat orang lain marah. Apakah hal itu diajarkan lagi sekarang ini? Tidak, ajaran itu sudah hilang.
Jadi apa yang beliau katakan? "Nabi kita adalah seseorang yang memberi perintah dan larangan." Apakah kita mengikuti perintah-perintah beliau? Jika iya alhamdulillah. Apakah kita patuh untuk berhenti membangkang atau melakukan hal-hal yang tidak beliau sukai? Jika tidak maka kita harus berusaha menyempurnakan diri kita sendiri semampunya.

Dan beliau berkata, fa la ahadaun abarrah fee qawl 'lam' wa la 'na`m'.

Berapa kalikah sang Nabi (saw) berkata 'tidak' dalam hidupnya dan berapa kalikah beliau mengucap 'ya'? Sang Nabi (saw) berkata 'tidak' di satu tempat dan berkata 'ya' dibanyak tempat. Dimana beliau berkata 'tidak'? dan dia berkata. "Ma qaala la qattan -beliau tidak pernah berkata 'tidak' selama hidupnya kecuali dalam syahadah - Illa fii syahadatihi."
Hanya sewaktu mengucap itulah beliau berkata 'tidak'. ma qaala la, qattun illa fii tasyahudihi.
Kecuali ketika beliau mengucap syahadah - Asyhadu an La ilaha ill-Allah - satu kali. Berapa banyakkah ketika seseorang minta sesuatu kepada kita dan kita berkata 'tidak'?

Baru saja mereka berargumentasi, sebelum kau datang. "La, la, tidak, tidak," mereka berargumentasi, sebagai sebuah contoh.
Wa la n`am qattun illa wa ja'ahu ni`am – "Tidak pernah beliau berkata 'ya' kecuali datanglah rahmat dan pahala."
Beliau tidak pernah menyangkal apapun. Hanya satu hal dalam hidup beliau yang disangkal yaitu tidak menyekutukan apapun dengan Allah. [Untuk sisa semuanya] beliau berkata 'ya',
dan dengannya Allah melimpahkan pada manusia semua jenis rahmat. Jadi bagaimana memperoleh pemahaman ayat itu, baris puisi itu? Didalamnya adalah harta karun para murid.

Ketika Muhammad al-Busayri berkata,nabiyuna al-aamirun-naahiyu. Itu artinya beliaulah yang dapat berkata tidak boleh melakukan sesuatu kepada seorang.
Bashiirun wa nadhiirun. Beliaulah satu-satunya, beliau memberikan kabar gembira dan peringatan. Hanya beliau satu-satunya yang memberikan perintah. Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus mendengarkan perintah-perintah beliau. Apakah perintah beliau?

Pada masa Grandsyaikh, semoga Allah merahmati jiwanya, kita kembali ke masa Grandsyaikh, kami masih muda. Dan beliau biasa mengucapkan banyak hal. Beliau berkata, "Aku hanya mempunyai 2 orang murid." Dua orang murid? Grandsyaikh mempunyai murid ratusan dan ribuan orang. Dari semua yang beliau katakan "Aku mempunyai 2 orang: Mawlana Syaikh Nazim dan Mawlana Syaikh Husayn."
Apakah maksud beliau? Inilah yang penting. Apakah makna penting dari ayat: nabiyuna al-aamirun-naahiyu.

[Beliau berkata:] "Mengapa aku mempunyai 2 orang murid? Karena jika dikatakan sesuatu kepada mereka, mereka akan menerimanya tanpa keraguan dan keseganan, bidun taraddud. Aku minta apapun kepada mereka, mereka akan melakukannya tanpa keseganan."
Itu artinya dia mewarisi rahasia, dia mewarisinya rahasia al-aamiru wan-nahiyu dari sang Nabi (saw).

Ketika Grandsyaikh bicara, ketika mulutnya terbuka untuk bicara, setiap wali harus mendengarkan. Allah… Mereka mempunyai headset spiritual, headset surgawi, yang telah Allah berikan kepada awliya-Nya. Beliau berkata, "Aku satu-satunya yang diijinkan oleh sang Nabi (saw) untuk bicara pada zaman ini dan awliya dimanapun wajib mendengarkan. Bukan hanya awliya namun ta'ifatul-jinn dengan rajanya harus mendengarkan. Karena aku mewarisi rahasia itu dari sang Nabi (saw)."
Setetes dari samudera itu adalah bersama sang Nabi (saw). Awliya memperoleh setetes.
Beliau berkata, "Aku hanya kran yang dapat bicara dari tingkat itu. Seluruh awliya harus mendengarkan apa yang aku katakan."

Jika kita membahas apa yang beliau katakan, aku membawa satu buku catatan, jika kita membahas tiap malam, ada hal-hal yang tidak bisa kita pahami karena melampaui pikiran/nalar. Kau akan paham namun akan terkejut bahwa hal seperti itu memang ada. Beliau memperolehnya dari sang Nabi (saw), min al-amr wan-nahiyy dari apa yang telah diperintahkan dan apa yang dilarang.
Beliau berkata, "Aku mempunyai 2 orang murid." [Kemudian] Bagaimana dengan sisanya? [Murid sejati] adalah dia yang tidak mempunyai keraguan kepada Syaikhnya. Yang lain mungkin berkata, "Bisa saja benar, bisa salah." [Murid sejati adalah] seperti Abu Bakr ash-Shiddiq. Tanpa syak [keraguan]. Kapan pun sang Nabi (saw) bicara, dia akan berkata, "sadaqta ya rasulullah [kau bicara yang sesuangguhnya Nabi Allah]!" Saat sang Syaikh bicara apapun, jangan bertanya.

Aku berada di Indonesia, bersama Mawlana Syaikh tahun 2001, pertama kali Mawlana datang ke Indonesia. Dan alhamdulillah kami mempunyai banyak pengikut disana.
Ratusan ribu. Dan sebelum beliau datang, aku sudah datang sebanyak 5 atau 6 kali.
Dan mereka punya satu slot untukku pada sebuah program TV sebelum waktu Fajr, dan itu siaran langsung, dan kemudian aku bicara dan mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
Jadi, ketika aku datang, mereka bertanya apakah Mawlana dapat turut datang ke studio dan siaran itu merupakan siaran langsung dan kami berada disana pada waktu Fajr; kami shalat Fajr dan lalu acara dimulai. Jadi Mawlana berkata 'ya'. Dan aku bicara dengan si pewawancara. Aku berkata, "Aku disini, jadi Mawlana akan mengambil alih seluruhnya, kau bertanya, apapun. Aku tidak akan bicara didepan Mawlana."
Dia berkata, "Jangan, orang-orang menginginkan anda. Jadi, kita bagi, kami bertanya kepada anda dan beliau."
Jadi, mereka memperkenalkan Mawlana sebagai "Syaikh dari Syaikh Hisyam", se[erti yang mereka tahu siapa aku dan kemudian sebagai "Syaikh Thariqah Naqsybandi yang Termasyur." Kemudian mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada Mawlana. Dan kau tahu, ini siaran langsung. Lalu dia [pewawancara] bertanya, "Syaikh Hisyam kami, kami ingin bertanya sebuah pertanyaan kepada sang Syaikh."
Mawlana menatapnya dan berkata, "Ketika aku disini, maka tidak ada Syaikh; dia tidak akan bicara didepanku."
Jadi aku memberitahukan kepada pewawancara agar hati-hati. Kini siaran langsung, dipancarkan kemana-mana di Malaysia dan Indonesia. Apakah yang dilakukan? Tetap diam, menyelamatkan situasi. Dan si pewawancara malu dan aku malu.
Kemudian seseorang menelpon [berkata,] "Aku ingin bertanya." Mawlana berkata, saat siaran TV langsung, "Ketika sang Syaikh bicara tidak seorangpun bertanya. Aku bicara dan kau dengarkan!"

Kemudian pewawancara bertanya, "Kami mempunyai pertanyaan lain." Lalu Mawlana berkata, "Pertanyaan, berikan kepada Syaikh Hisyam."

Syaikh al-Azhar-Mesir, saat kami bicara tidak seorangpun diijinkan bertanya. Kau ingat ketika kita bertemu Syaikh Buhairi dan pergi ke kediaman Dr. Zaki bersama Syaikh Ahmad Aamir? Apakah yang dikatakan oleh Syaikh Buhairi? Beliau berkata, "Saat para Syaikh dari al-Azhar berada disini, tidak seorangpun melontarkan pertanyaan!"

Adab [tata krama yang baik], adalah tidak bertanya meski satu pertanyaan pun. Sang Nabi (saw) tidak pernah melontarkan pertanyaan dalam Qur'an Suci. Beliau tidak pernah berkata 'tidak' kecuali dalam syahadah.
Banyak nabi lain yang bertanya, contohnya Sayyidina Musa (as).
Jadi, awliyaullah dari pengetahuan dan dari cinta, mereka mengambilnya dari sang Nabi (saw). Bagi mereka haqiqat-haqiqat terbuka dan tingkat-tingkat pemahaman baru akan diberikan dan mereka akan terus naik, naik, naik tidak pernah berdiam disatu tempat. Mereka selalu bergerak. Sehingga Grandsyaikh biasa berkata, "Jangan melawan Allah."
Bagaimana caranya melawan Allah? HanyaNimrod yang berperang [secara fisik], melemparkan anak-anak panah. Lalu Allah mengirimkan seekor elang, seekor burung dan dia melihat darah pada anak-anak panah [anak panah itu mengenai elang dan elangpun meluncur turun] dan dia berkata, "Oh aku telah membunuh-Nya." Itulah yang dia bunuh, apapun itu.
That is he killed whatever it was.

Jadi artinya, "Jangan menyakiti para hamba-Ku. Jangan mencemarkan nama baik mereka. Jangan berkomplot melawan siapapun. Perlihatkan tingkah laku yang baik kepada semua orang." Kau ingin Allah senang, Allah senang ketika kau membuat senang para hamba-Nya. Semoga Allah ridho dengan kita dan membuat kita ridho dengan para hamba-Nya, membuat sang Nabi (saw) ridho dengan kita dan membuat syuyukh kita ridho dengan kita.

Suhbat Tanggal 17 Februari 2008
Zawiyah Oakland

Dzikir Ibadah yang Sangat Agung

Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat mereka maka bertambahlah keimanan mereka…” (QS. al-Anfal: 2)

Di saat peperangan berkecamuk, Allah pun tetap memerintahkan ibadah yang mulia ini agar mereka menjadi orang-orang yang mendapatkan keberhasilan. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan pasukan musuh maka tegarlah kalian dan ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Anfal: 45)

Allah ta’ala juga berfirman,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)

وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menjumpai sebuah halaqah yang terdiri dari para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk mengingat Allah ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada kami sehingga kami bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Demi Allah, apakah tidak ada alasan lain bagi kalian sehingga membuat kalian duduk di sini melaikan itu?” Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak ada niat kami selain itu.” Beliau pun bersabda, “Adapun aku, sesungguhnya aku sama sekali tidak memiliki persangkaan buruk kepada kalian dengan pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang kepadaku kemudian dia mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah ada suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala melainkan malaikat akan meliputi mereka dan rahmat akan menyelimuti mereka, dan akan turun kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

“Apabila kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah.” Maka para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud taman-taman surga itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir, karena sesungguhnya Allah ta’ala memiliki malaikat yang berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah dzikir. Apabila mereka datang kepada orang-orang itu, maka mereka pun meliputinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dihasankan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 16)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya keutamaan dzikir itu tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semacamnya. Akan tetapi, setiap orang yang beramal ikhlas karena Allah ta’ala dengan melakukan ketaatan maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah ta’ala. Demikianlah, yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair radhiyallahu’anhu dan para ulama yang lain. Atha’ rahimahullah mengatakan, ‘Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, yang membicarakan bagaimana menjual dan membeli, bagaimana shalat, menikah, thalaq, haji, … dan sebagainya.’” (Shahih Al Adzkar, hal. 18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sebagian dari kalangan ahli hikmah yang terdahulu dari Syam -dugaan saya adalah Sulaiman Al Khawwash rahimahullah mengatakan, ‘Dzikir bagi hati laksana makanan bagi tubuh. Maka sebagaimana tubuh tidak akan merasakan kelezatan makanan ketika menderita sakit. Demikian pula hati tidak akan dapat merasakan kemanisan dzikir apabila hatinya masih jatuh cinta kepada dunia’. Apabila hati seseorang telah disibukkan dengan mengingat Allah, senantiasa memikirkan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka dia telah diposisikan sebagaimana mestinya…” (Majmu’ Fatawa, 2/344)

Oleh sebab itu, menjadi orang yang banyak mengingat Allah merupakan cita-cita setiap mukmin. Allah ta’ala berfirman,

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Dan kaum lelaki yang banyak mengingat Allah demikian pula kaum perempuan, maka Allah persiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Tidaklah tergolong lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah kecuali apabila dia membiasakan diri senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.” (Shahih al-Adzkar, hal. 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat bersama sebanyak dua raka’at, maka mereka berdua akan dicatat termasuk dalam golongan lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 19)

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud no. 1522)

Itulah sebagian keutamaan dzikir yang bisa kami kemukakan di sini, semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk berdzikir kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahibihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Courtesy of Muslim.or id

Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Shalat Dan Puasa Di Bulan Rajab

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu.

Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.

Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 980)]

Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar.

Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab.

Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.

HADITS PERTAMA
“Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku”

Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’

Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:

“Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaaib...”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid Ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)]

Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]

Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”

Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa'ib.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879)]

HADITS KEDUA
“Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur'an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” [Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H)]

HADITS KETIGA:
“Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”

Keterangan: HADITS MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” [Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).]

HADITS KEEMPAT
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124).]

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]

HADITS KELIMA
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”

Keterangan: HADITS INI SANGAT LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.

Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa'ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]
Kata Imam an-Nasa'i: “Furaat bin as-Saa'ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.” [Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa'i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).]

HADITS KEENAM
“Artinya : Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.”

Keterangan: HADITS INI BATHIL

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, ...”

Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.” [Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898)]

HADITS KETUJUH.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.”

Keterangan: HADITS INI PALSU

Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”

Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:

[1]. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.” [Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)]

[2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.” [Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa'ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Zaadul Ma’aad (I/375) cet. Muassasah ar-Risalah.


courtesy off almanhaj.or.id

Keutamaan Ilmu Syar'i Dan Mempelajarinya : Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[7]. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [1]

‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [2]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” [3]

Aku (Ibnul Qayyim) katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih aku sukai daripada jihad tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada baiknya.” [4]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” [5]

Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu kepada manusia.” [6]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.” [7]

[8]. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”

Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah,

“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”

Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [8]

Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.’” [9]

[9]. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“...Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” [10]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya. [11]

[10]. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.

Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang menjerumuskan ke Neraka.

Setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut ilmu adalah orang yang bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat. Dengannya hati terasa nikmat dan akan membawa kepada kebersihan hati dan kemuliaan.

[11]. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” [12]

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:

Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.

Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.

Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin: 24]

Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [13]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan Surga.

Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).

Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [14]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96).
[2]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[3]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[4]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[5]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[8]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[9]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
[11]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[14]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).

Courtesy of almanhaj.or.id

Dunia, Akhirat dan Peradaban Teknologi

Dunia, Akhirat dan Peradaban Teknologi
Thursday, 04 June 2009 18:49

Audzu billahi min asy-syaytan ir-rajiim, Bismillah ir-rahman ir-rahiim Allahumma Sholli A’laa Sayyidina Muhammad Wa A’laa Aali Sayyidina Muhammadin Wa Baarik Wa Sallim

Ilmu dan pengetahuan adalah penting dalam perjalanan menuju Akhirat. Sekalipun demikian, mengumpulkan pengetahuan tentang Dunya bukanlah hal yang paling penting. Allah telah mengirim kita ke dunia ini untuk membangun akhirat kita. Ia telah berfirman dalam Al Quran Suci, "Dan tidaklah Aku ciptakan jinn dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tak membutuhkan rezeki dari mereka, tidak pula Aku membutuhkan makanan dari mereka." [QS. 51: 57-58]. Allah telah menciptakan jinn dan manusia dengan maksud agar mereka menyembah-Nya. Peradaban terus mengalami kemajuan, tetapi hanya dalam urusan Dunya.

Masyarakat kita telah menjadi lebih dan lebih unggul dalam pengembangan teknologi yang meningkatkan kualitas hidup kita secara materi. Di masa lalu, sebagai contoh, belum dikenal adanya sistem sprinkler (sistem penyemprot air otomatis, penj.), Saat itu sprinkler dikembangkan hanya untuk menjaga agar suatu bentangan dataran tetap hijau. Kini orang dapat melihat bahwa setiap halaman rumput pun tetap hijau, sekalipun tidak turun hujan. Jaringan air yang luas telah digunakan dan suatu teknologi yang superior telah dikembangkan hanya agar Anda dan saya dapat memiliki rerumputan yang hijau di depan rumah-rumah kita.

Ini hanyalah satu contoh, yang menggambarkan betapa besar perhatian telah diberikan untuk dunya. Padahal sesungguhnya ada kebutuhan yang lebih besar untuk membangun akhirat kita, kehidupan setelah dunya ini. Adalah Akhirat, dan bukan Dunya, yang vital bagi orang-orang di abad 21 ini. Orang-orang itu, yang menggunakan teknologi pada setiap urusan, yang intelegensi dan kecerdasan dan kepandaiannya terus bertambah setiap hari-nya, seharusnya juga menyalurkan energi mereka untuk membangun Akhirat yang jauh tidak terbandingkan (keindahan dan kenikmatannya, penj.) dibandingkan Dunya mereka.

Seseorang mampu untuk bertahan hidup dengan teknologi maupun tanpa teknologi. Orang mampu untuk bertahan hidup baik dengan adanya tenaga listrik maupun tanpa tenaga listrik. Seseorang dapat hidup dalam sebuah rumah yang modern maupun dalam suatu tenda yang sederhana. Berapa pun jangkauan umur hidup yang Allah telah putuskan untuk seseorang akan dipenuhi, tanpa memandang faktor-faktor ini. Allah telah memberikan pada kita umur hidup yang berbeda-beda. Beberapa orang hidup hingga 100 atau 70 atau 80 tahun.

Sementara, beberapa orang yang lain hanya hidup selama lima tahun, atau malah cuma satu hari. Allah telah mengaruniakan pada setiap orang dari Anda-anda ini, suatu jangka waktu tertentu untuk hidup. Anda akan hidup dan kemudian melaluinya menuju ke Kehidupan Berikutnya. Jika Anda sungguh-sungguh percaya dan beriman bahwa waktu Anda di Akhirat (Kehidupan Berikutnya) adalah lebih lama dan lebih penting daripada waktu Anda di Dunya ini, maka mengapa Anda tidak berusaha untuk membangun Akhirat yang lebih baik bagi diri Anda sendiri? Lihatlah secara mendalam pada sifat sejati dari suatu kehidupan, dan Anda akan mendapati bahwa mereka yang hidup sebelum kita, menjalani kehidupannya dengan cara yang amat serupa dengan cara kita, sekalipun tanpa adanya tenaga listrik atau teknologi lainnya. Mereka juga punya keluarga dan punya rumah.

Mereka tidur dan bangun. Mereka pun bekerja dan menghabiskan waktu luang mereka bersama keluarga, kolega, tetangga, dan sahabat-sahabat mereka. Mereka puas dengan apa yang mereka miliki. Mereka telah merasa seperti hidup di surga. Tapi kita malah merasa kasihan pada mereka karena mereka tidak memiliki listrik, air conditioning (AC), pemanas ruangan atau lampu, air panas, email dan Internet. Kita berpikir bahwa hidup kita jauh lebih baik daripada mereka dan kita merasa seakan-akan kita hidup di surga. Tapi, orang-orang yang hidup bahkan 1000 tahun yang lalu pun merasa bahwa hidup mereka adalah bagai di surga.

Perasaan-perasaan serupa seperti ini didasarkan pada persepsi yang relatif. Mereka berbahagia dengan hidup mereka; Anda pun berbahagia dengan hidup Anda. Hal ini bukanlah hal yang paling penting. Mereka berbahagia dengan apa yang mereka punya, dan kita pun berbahagia dengan apa yang kita punya. Dan mungkin, generasi yang akan datang pun akan lebih berbahagia dengan apa yang mereka miliki dan ketika mereka melihat ke belakang, mereka akan memandang apa yang kita punya sebagai hal-hal yang primitif. Bagaimanapun dunya ini membuat hidup kita lebih baik, tetapi tetap saja ia memiliki batas-batasnya, limit-limitnya. Dunya tidak akan pernah dapat menyaingi Akhirat.

Dengan hanya membaca beberapa ayat dari Quran Suci atau suatu fragmen dari suatu hadits, Allah SWT dan Rasulullah telah menggambarkan suatu Akhirat yang berada di luar imajinasi (khayalan) kolektif kita sekalipun. Sebagai suatu contoh sederhana, Nabi pernah bersabda, "Seandainya seorang hur al-'ayn (bidadari surga) memperlihatkan satu dari kuku jarinya pada dunia ini, setiap orang yang berada di segenap alam ini akan jatuh pingsan." Tak ada dari dunya ini yang dapat menyamai keindahan yang akan Allah karuniakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, di Akhirat nanti.

Kita belajar bahwa keharuman dan keindahan satu saja kuku jari di akhirat akan melenyapkan semua yang ada di dunya ini. Mengapa kita hanya menghabiskan waktu, untuk membangun dunya kita ini lebih daripada untuk akhirat? Padahal tak ada dari kita yang mengetahui kapan Allah akan memanggil kita dari hidup ini. Ingatlah kisah Firaun dari Mesir. Lihatlah pada piramid-piramid di sana dan perhatikan apa yang telah ditemukan di Luxor dan Aswan (nama daerah di Mesir, penj.).

Semua raja-raja itu dikubur bersama harta mereka yang amat berlimpah, tapi apa yang sebenarnya telah mereka bawa bersama mereka ke kehidupan berikutnya? Badan-badan mereka kini hanyalah menghiasi museum sebagai mummi-mummi, untuk menghasilkan uang. Mereka mati dan telah pergi. Tak peduli lagi apa yang dulu mereka makan, apakah roti, ataukah beras, ataukah mungkin hanya daun-daun dari hutan.

Hal ini terjadi pula ketika Sayyidina Ubaidullah al-Ahrar (http://naqshbandi.org/chain/20.htm), mursyid ke-20 dalam Silsilah Emas Tareqah Naqshbandi, memerintahkan seorang murid beliau untuk pergi ke sebuah gunung untuk menunggu beliau. Sang murid menaatinya karena Islam berarti ITTIBA', "MENGIKUTI". Lebih khususnya, mengikuti jalan para Syaikh atau Guru yang akan membawa Anda menuju Jalan Nabi. Anda adalah seorang murid. Jika Anda seorang murid, maka Anda mesti memiliki seorang Guru. Harus ada seorang guru dan harus ada pula seorang murid.

Jika kita mengikuti trend dari banyak 'ulama saat ini yang mengatakan bahwa mereka mengajari "tholaab al-'ilm" (siswa atau murid dari ilmu), maka kita pun mesti menerima akan perlunya memiliki seorang guru. Seperti halnya suatu bangunan atau gedung harus memiliki atap atau langit-langit, seorang guru pun harus memiliki murid, dan seorang murid harus memiliki seorang guru.

Melanjutkan cerita tadi, Sayyidina 'Ubaidallah berkata pada muridnya, "Pergilah, aku akan datang." Sang Murid pun pergi, hanya berpikir, "sang Syaikh berkata 'Pergi', maka aku pun pergi". Waktu Maghrib pun tiba, dan Sang Syaikh belum tiba. Ia (sang murid) pun menunggu. Hari berikutnya, sang Syaikh masih juga belum datang. Sang Murid mulai untuk makan buah-buahan yang ada sampai tak ada lagi makanan yang tersisa. Satu minggu berlalu dan sang Syaikh pun masih belum datang. Satu bulan berganti menjadi tiga bulan. Berlalu pula musim penghujan dan musim kemarau. Hari demi hari berlalu, namun sang Mureed tetap menunggu dengan penuh kesabaran baik dalam guyuran air hujan yang lebat maupun dalam cuaca buruk lainnya.

Dan saat salju mulai turun, bumi pun membeku dan ia tidak menemukan apa-apa untuk dimakan. Tapi Allah, Yang Maha Pemurah, mengirimkan baginya seekor rusa. Rusa itu datang di pagi hari, dan sang mureed memerah susu darinya, dan ia pun puas dan bersyukur sepanjang hari. Ia paham benar akan ayat, "Ma khalaqta al-jinna wal ins illa li ya`buduna la ureedu minhum min rizq wa la ureed an yut'imoon". "Tidaklah Aku ciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Aku tidak meminta dari mereka rizki, tidak pula Aku minta mereka untuk memberi makan pada-Ku".

Allah menyediakan bagi mureed ini karena ia adalah seorang PENGIKUT yang baik yang menginginkan untuk membangun akhirat-nya lebih dari keinginan lain apa pun. Allah menyediakan makanan untuk memberinya energi. Makan, bukanlah sekedar suatu jawaban terhadap perasaan lapar secara biologis. Makan menyediakan bahan bakar bagi tubuh Anda untuk beribadah. Anda harus memulai setiap makan dengan niat untuk memperoleh energi bagi ibadah. Dan Anda harus menggunakan energi ini untuk membangun Akhirat Anda.

Jika Anda memperhatikan baik-baik pesan ini, dan mengikuti Sunnah untuk membangun akhirat Anda, Allah akan membuat Anda merasa puas dan kenyang sekalipun dengan hal yang paling kecil dan sederhana. Sang mureed tadi menunggu kedatangan Syaikh-nya selama tujuh tahun. Ia minum susu dari rusa tadi setiap hari dan kemudian membaca Quran. Hewan-hewan akan berkumpul di sekelilingnya untuk mendengar dhikr-nya dan mendengar bacaan ayat-ayat Quran, dan mereka pun menjadi amat jinak. Kebalikannya, kita adalah hewan-hewan liar dan buas - bahkan terhadap satu sama lain. Kita mesti meninggalkan Shaytan dan mengikuti Ar-Rahman.

Kita mesti mengingat akan sang mureed yang demikian bahagia hanya dengan hal-hal dan kenikmatan yang amat sederhana, dan para pendahulu kita juga bahagia hidup dalam gubuk-gubuk yang hanya diterangi dengan minyak dan lilin. Jika tenaga listrik mati untuk beberapa menit saja saat ini, tentu kita akan merasa susah. Mereka bahagia hanya mengendarai kuda atau keledai, atau malah hanya berjalan kaki. Mereka mengukur jarak dengan hitungan berapa jam yang diperlukan untuk bepergian dengan kuda atau keledai.

Sekarang, Allah telah mengaruniai kita dengan pesawat terbang dan mobil yang cepat. Benda-benda ini membuat kita bahagia, untuk suatu waktu, tapi pada akhirnya kita menjadi sama saja dengan mereka yang telah wafat mendahului kita. Hidup mereka, di waktu mereka, dan hidup kita di waktu kita saat ini adalah sama. Jika kita tidak menggunakan waktu yang telah dikaruniakan Allah bagi kita untuk membangun akhirat kita, maka akhirnya kita akan merugi. Akhirat tidak dapat dibangun dengan teknologi, atau dengan apa yang sekarang dinamai peradaban. Akhirat hanya bisa dibangun dengan amal salih, amal kebajikan, suatu perbuatan yang dilakukan pada kehidupan ini, tapi terlaksana demi akhirat.

Pertemuan yang saat ini kita lakukan mungkin termasuk perbuatan semacam itu. Ada begitu banyak pertemuan dan majlis seperti ini di seluruh dunia. Banyak orang yang duduk di antara salat Maghrib dan 'Isha' dan berdizkir mengingat Allah SWT dan mengingat serta menyebut Nabi . Alhamdulillah - dengan dukungan spiritual dari Rasulullah sallalLahu 'alayhi wasallam melalui silsilah dari para Syaikh kita, yang merupakan suatu transmisi dari seorang Grandsyaikh dari Grandsyaikhnya, dan seterusnya hingga kembali menuju Nabi sallalLahu 'alayhi wa sallam - kita dapat datang berkumpul, duduk bersama, mendengar dan kemudian pergi.

Tapi seandainya pertemuan kita ini tidak membuahkan apa pun maka ia adalah suatu pertemuan yang tak bermanfaat. Banyak pohon yang tumbuh tapi tidak berbuah, yang merupakan pohon feral. Tapi, untuk pohon-pohon yang tumbuh dan mengeluarkan buah, kita menyebut mereka berbuah, berguna. Jika pertemuan-pertemuan ini tidak menolong kita untuk memperbaiki akhirat kita, maka kita hanyalah menghabiskan waktu belaka. Kita berdoa, "Yaa Rabbi, peliharalah kami pada jalan yang lurus, peliharalah kami pada jalan Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam. Buatlah kami agar mengikuti Sunnah beliau”.

Lemparkanlah dari dalam hati kalbu kami "hubb ad-dunya" - cinta akan dunia. Penuhi hati kalbu kami dengan "hubb al-akhira", kecintaan akan akhirat, kehidupan selanjutnya. Jauhkan dari kalbu kami "shahwat al-haram", keinginan akan hal-hal terlarang, dan penuhi hati kalbu kami dengan "shahwat al-halal", keinginan akan apa yang diperbolehkan bagi kami. Karuniakan pada kami adab dan akhlaq yang luhur dan bersihkan dari diri kami segala adab dan akhlaq yang buruk." Semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk membangun akhirat kita dan untuk mengikuti bimbingan dan petunjuk dari Shuyukh kita dan bimbingan petunjuk dari Sayyidina Muhammad sallalLahu 'alayhi wasallam. Bihurmatil Faatihah.